Setelah melewati perkebunan warga, jalannya pun semakin menyempit dan jalur pun mulai mengarah memasuki jalur pendakian.
Pelan-pelan
aku atur langkah kakiku dan meluruskan posisi punggung untuk menahan carrier.
Aku lupa sudah berapa kali aku meminta berhenti sedari basecamp tadi.
Sepanjang
perjalanan aku pun mulai memperkenalkan
diriku kepada Prau,
“hai
Prau! Namaku Afri, izinkan aku dan teman-temanku bersamamu selama beberapa hari
kedepan. Aku rindu naik gunung, saat ini mungkin jodohku untuk mendakimu,”
gumamku.
Sepanjang
perjalanan.. aku, Dicky dan bang Angga selalu mengobrol agar perjalanan tak
terasa jauh. Entah nostalgia pada perjalanan sebelum Prau atau bergurau
menertawakan diri kami sendiri.
Jalur
pun semakin menanjak, punggung Prau pun
semakin terlihat jelas di mata kami. Sekira pukul 11.00 siang saat itu
kami sampai di pos 2. Ternyata pos tersebut juga merupakan pertemuan antara
jalur dieng dan jalur Dwarawati.
“Arah
tower,” kata Bang Angga.
Ya... kami harus melewati tower terlebih dahulu sebagai penanda bahwa kami akan
segera sampai di Puncak.
Semakin
mendekati tower jalan semakin menanjak dan sedikit curam, cuaca terik dan angin
menambah keseruan siang itu karena kami diharuskan untuk bergumul dengan panas
dan debu.
“Rest
Rest,” ucap Dicky
Sungguh
momen yang sangat aku rindui, berada dijalur pendakian, beristirahat disana,
meselonjorkan kaki kemudian menyandarkan diri pada tas besar dipunggung.
“Ah
setelah dua tahun akhirnya aku merasakan ini lagi,” pikirku.
Waktu sudah semakin siang, cacing-cacing diperut pun sudah berontak untuk diberi jatah. Kami meneruskan perjalanan dan melewati Pos 3. Selang beberapa menit mengabadikan situasi, tanpa terasa karena terus berjalan kami tengah berada di punggung Prau. Angin kencang menyapa saat itu, kabut pun mulai naik.
Aku
yang saat itu sempat berjalan di posisi paling depan pun menghentikan langkah
dan menengok ke belakang memastikan dua temanku tetap ada di belakangku.
Kabut dengan cepat datang dan pergi, tower yang sudah kami lewati kini ada diseberang. Pelan-pelan kami berjalan dan sampailah di tanah yang datar, dari kejauhan pun tampak papan bertuliskan “Selamat Datang Di Puncak”.
“Akhirnya sampai,” kataku.
Setelah
memotret diri disana kami pun bergegas mencari lapak untuk mendirikan tenda.
Kabut masih ada, dan penglihatan kami kadang tak sampai jauh kedepan karenanya.
Meski
sempat bingung mendirikan tenda dimana, kami pun memilih lahan diantara
pohon-pohon besar yang tak begitu jauh dari papan Puncak Prau.
Aku dan dicky menunggu pada sebuah pohon, sementara Bang Angga meyakinkan diri dengan mengecek langsung lokasi yang kami lihat dari kejauhan.
Seperti ditelan kabut, ia tak terlihat sama sekal.
“Bang,
bang gimana? Aman? Bisa ga bang? Kalo udah Ok lo langsung balik aja biar ga
terlalu jauh,” kata Dicky pada sambungan HT yang kami gunakan.
“ya
ya disini ada lahan, nih gw balik kesitu lagi,” Bang Angga menenangkan.
Angin
kencang dan kabut saat itu seolah mengajak bercanda. Kami yang sedang mendirikan
tenda, pasakpun dipasang dengan cukup keras agar tenda tidak mudah lepas dan
membahayakan kami yang berada didalamnya.
Waktu
sudah semakin sore, sementara kami belum mengisi perut. Bang Angga kemudian
menggoreng beberapa cemilan yang kami bawa.
Diluar
tenda, Angin masih saja bermain-main dengan senangnya. Sementara kabut selalu
setia menemaninya. Hingga tiba saat matahari pun pamit dan langit menjadi
gelap.
Suasana
didalam menjadi tidak karuan, kami semua khawatir akan angin yang
berkemungkinan akan merobohkan tenda. Maklum saja, tenda yang kami pakai adalah
tenda pertama kami yang dibeli pada 2013 lalu saat pendakian ke Gunung
Papandayan di Garut.
Saat
yang sama hujan deras pun mengguyur dengan kerasnya menghentak ke atap tenda. Suasana
seakan semakin mencekam, beberapa langkah kaki pun terdengar dari dalam tenda.
Bang Angga dan Dicky tanpa menunggu aba-aba kemudian memastikan bahwa yang
berjalan disekitar tenda kami adalah benar-benar manusia.
“huuyyyyyyy,”
teriak Bang Angga.
“hoyyyyyy,”
saut dia yang berada diluar tenda.
Meski
tak melihatnya langsung, namun kami meyakinkan diri bahwa dia yang melintas
tadi benar bukan makhluk lain diantara kami.
“Lo
jadi bawa Al-Qur’an kan ky?,” tanyaku
“oh
iya lupa ketinggalan,” kata dicky
“Kita
butuh ngaji nih,” kataku
“kan
masih ada sinyal, kita coba buka youtube aja ya,” ucapnya.
Setengah
jam setelah itu kami mengaji bersama, kemudian mulai merebahkan badan dan masuk
kedalam sleeping bag. Sementara telepon genggam Dicky masih menemani kami
dengan lantunan ayat Al-Quran.
Sesekali
ia terbangun untuk menghidupkan kembali rekaman suara mengaji yang terhenti.
Begitu saja hingga tengah malam dan tanpa sadar kami semua terbangun satu
persatu pada pukul 04.00 subuh.
Suasana
tak banyak berubah, angin masih saja kencang, lampu tenda pun menghentak kesana
kemari, hanya saja kondisi kami sudah jauh lebih tenang.
Tanpa
kami sadari kami benar-benar mengisi perut. Gorengan tempe yang masih tersedia
kemudian kami nikmati kembali mesko sudah terasa dingin. Sementara seduhan teh hangat menyapa perut kami yang hanya
mengemil saja sejak kemarin siang.
Pelan-pelan
kami buka pintu tenda untuk menengok keluar. Setelah diterpa berbagai kejadian
diluar nalar semalaman kami disuguhkan lukisan luar biasa ciptaan Allah swt.
Langit Biru nan cerah, pemandangan gugusan gunung-gunung indah yang mengelilingi Prau, hamparan perkebunan warga yang tampak sangat kecil, hingga ilalang dan rerumputan tinggi mencuri perhatian dari kejauhan.
Sayangnya,
Bang Angga enggan berkeliling. Hanya aku dan Dicky yang akhirnya keluar tenda
dan menikmati matahari pagi.
Angin
masih saja dengan kencangnya menghantam tubuh, aku cukup jauh berjalan menjauhi
tenda. Kamera kunyalakan dan kuabadikan moment selama disana.
Sementara
dari kejauhan tenda tampak bergoyang-goyang tak karuan, bang Angga masih
didalam tentunya.
Aku
mulai khawatir.
Sekira
tiga puluh menit berlalu aku dan Dicky akhirnya memutuskan untuk kembali ke
menghampiri Bang Angga.
Waktu
menunjukkan pukul 08.00 pagi saat itu, meski cuaca cerah angin tak ada
bosan-bosannya menganggu kami. Setelah beristirahat dan berbincang, kami
memutuskan untuk turun kembali ke basecamp karena khawatir cuaca akan kembali
memburuk.
Pelan-pelan kami kemas semua peralatan kami, usai berswafoto disana kami pun beranjak turun.
Beberapa
makanan ringan sengaja kami taruh dibagian atas carriel agar dapat dengan mudah
diambil saat beristirahat. Ada lapak landai sedikit saja kami kemudian memilih
duduk dan menyelonjorkan kaki.
Momen-momen
itu kami gunakan untuk saling bercerita, berkeluh kesah, hingga menertawai
kebodohan kami sendiri selama ini.
Aku
yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaanku, Dicky yang sibuk dengan travelnya dan
Bang Angga yang sibuk ngojol.
“takut
deh ga diizinin naik gunung lagi,” ucapku saat itu.
“terus
lo mau ngapain,” kata Dicky
“ya
ga tau,” jawabku
“naik
gunung ya ga apa-apa, tapi cari moment yang tepat aja.” Sahut Bang Angga.
“kalo
gas sama kalian kayaknya bakal susah naik gunung,” keluhku
Semilir angin terus menggoda kami yang mulai
kelaparan di jalur. Tanpa terasa waktu beranjak semakin siang.
“yok
gas ke basecamp.” teriak bang Angga dengan semangatnya.
“ayolah,”
kataku
Kami kemudian berpacu menuruni jalur. Hingga akhirnya kami sampai di perkebunan warga. Disana kami bertemu dengan bapak Suripto.
Kebetulan
kami hendak menginap semalam lagi di Dieng dan sedang mencari penginapan
sebelum aku ke Pekalongan. Bapak menawarkan homestay dirumahnya untuk kami
beristirahat dan bersih-bersih. Setelah bertukar nomor telepon kami pun izin
melanjutkan perjalanan menuju basecamp.
Ohiya,
setelah sampai basecamp, bersih-bersih, mengisi perut dan lapor diri kami kemudian langsung menuju Candi Arjuna yang
berada tak jauh dari basecamp.








