Kamis, 01 Oktober 2020

DIterpa Angin Kencang Semalamam, Hingga Gorengan Dingin Jadi Santapan [Part 2 - Gunung Prau]


Setelah melewati perkebunan warga, jalannya pun semakin menyempit dan jalur pun mulai mengarah memasuki jalur pendakian.

Pelan-pelan aku atur langkah kakiku dan meluruskan posisi punggung untuk menahan carrier. Aku lupa sudah berapa kali aku meminta berhenti sedari basecamp tadi.

Sepanjang perjalanan  aku pun mulai memperkenalkan diriku kepada Prau,

“hai Prau! Namaku Afri, izinkan aku dan teman-temanku bersamamu selama beberapa hari kedepan. Aku rindu naik gunung, saat ini mungkin jodohku untuk mendakimu,” gumamku.

Sepanjang perjalanan.. aku, Dicky dan bang Angga selalu mengobrol agar perjalanan tak terasa jauh. Entah nostalgia pada perjalanan sebelum Prau atau bergurau menertawakan diri kami sendiri.

Jalur pun semakin menanjak, punggung Prau pun  semakin terlihat jelas di mata kami. Sekira pukul 11.00 siang saat itu kami sampai di pos 2. Ternyata pos tersebut juga merupakan pertemuan antara jalur dieng dan jalur Dwarawati.

“Arah tower,” kata Bang Angga.

Ya... kami harus melewati tower terlebih dahulu sebagai penanda bahwa kami akan segera sampai di Puncak.

Semakin mendekati tower jalan semakin menanjak dan sedikit curam, cuaca terik dan angin menambah keseruan siang itu karena kami diharuskan untuk bergumul dengan panas dan debu.

“Rest Rest,” ucap Dicky

Sungguh momen yang sangat aku rindui, berada dijalur pendakian, beristirahat disana, meselonjorkan kaki kemudian menyandarkan diri pada tas besar dipunggung.

“Ah setelah dua tahun akhirnya aku merasakan ini lagi,” pikirku.

Waktu sudah semakin siang, cacing-cacing diperut pun sudah berontak untuk diberi jatah. Kami meneruskan perjalanan dan melewati Pos 3. Selang beberapa menit mengabadikan situasi, tanpa terasa karena terus berjalan kami tengah berada di punggung Prau. Angin kencang menyapa saat itu, kabut pun mulai naik.

Aku yang saat itu sempat berjalan di posisi paling depan pun menghentikan langkah dan menengok ke belakang memastikan dua temanku tetap ada di belakangku.

Kabut dengan cepat datang dan pergi, tower yang sudah kami lewati kini ada diseberang. Pelan-pelan kami berjalan dan sampailah di tanah yang datar, dari kejauhan pun tampak papan bertuliskan “Selamat Datang Di Puncak”.

“Akhirnya sampai,” kataku.


Setelah memotret diri disana kami pun bergegas mencari lapak untuk mendirikan tenda. Kabut masih ada, dan penglihatan kami kadang tak sampai jauh kedepan karenanya.

Meski sempat bingung mendirikan tenda dimana, kami pun memilih lahan diantara pohon-pohon besar yang tak begitu jauh dari papan Puncak Prau.

Aku dan dicky menunggu pada sebuah pohon, sementara Bang Angga meyakinkan diri dengan mengecek langsung lokasi yang kami lihat dari kejauhan.

Seperti ditelan kabut, ia tak terlihat sama sekal.

“Bang, bang gimana? Aman? Bisa ga bang? Kalo udah Ok lo langsung balik aja biar ga terlalu jauh,” kata Dicky pada sambungan HT yang kami gunakan.

“ya ya disini ada lahan, nih gw balik kesitu lagi,” Bang Angga menenangkan.

Angin kencang dan kabut saat itu seolah mengajak bercanda. Kami yang sedang mendirikan tenda, pasakpun dipasang dengan cukup keras agar tenda tidak mudah lepas dan membahayakan kami yang berada didalamnya.

Waktu sudah semakin sore, sementara kami belum mengisi perut. Bang Angga kemudian menggoreng beberapa cemilan yang kami bawa.

Diluar tenda, Angin masih saja bermain-main dengan senangnya. Sementara kabut selalu setia menemaninya. Hingga tiba saat matahari pun pamit dan langit menjadi gelap.

Suasana didalam menjadi tidak karuan, kami semua khawatir akan angin yang berkemungkinan akan merobohkan tenda. Maklum saja, tenda yang kami pakai adalah tenda pertama kami yang dibeli pada 2013 lalu saat pendakian ke Gunung Papandayan di Garut.

Saat yang sama hujan deras pun mengguyur dengan kerasnya menghentak ke atap tenda. Suasana seakan semakin mencekam, beberapa langkah kaki pun terdengar dari dalam tenda. Bang Angga dan Dicky tanpa menunggu aba-aba kemudian memastikan bahwa yang berjalan disekitar tenda kami adalah benar-benar manusia.

“huuyyyyyyy,” teriak Bang Angga.

“hoyyyyyy,” saut dia yang berada diluar tenda.

Meski tak melihatnya langsung, namun kami meyakinkan diri bahwa dia yang melintas tadi benar bukan makhluk lain diantara kami.

“Lo jadi bawa Al-Qur’an kan ky?,” tanyaku

“oh iya lupa ketinggalan,” kata dicky

“Kita butuh ngaji nih,” kataku

“kan masih ada sinyal, kita coba buka youtube aja ya,” ucapnya.

Setengah jam setelah itu kami mengaji bersama, kemudian mulai merebahkan badan dan masuk kedalam sleeping bag. Sementara telepon genggam Dicky masih menemani kami dengan lantunan ayat Al-Quran.

Sesekali ia terbangun untuk menghidupkan kembali rekaman suara mengaji yang terhenti. Begitu saja hingga tengah malam dan tanpa sadar kami semua terbangun satu persatu pada pukul 04.00 subuh.

Suasana tak banyak berubah, angin masih saja kencang, lampu tenda pun menghentak kesana kemari, hanya saja kondisi kami sudah jauh lebih tenang.

Tanpa kami sadari kami benar-benar mengisi perut. Gorengan tempe yang masih tersedia kemudian kami nikmati kembali mesko sudah terasa dingin. Sementara seduhan teh hangat menyapa perut kami yang hanya mengemil saja sejak kemarin siang.

Pelan-pelan kami buka pintu tenda untuk menengok keluar. Setelah diterpa berbagai kejadian diluar nalar semalaman kami disuguhkan lukisan luar biasa ciptaan Allah swt.

Langit Biru nan cerah, pemandangan gugusan gunung-gunung indah yang mengelilingi Prau, hamparan perkebunan warga yang tampak sangat kecil, hingga ilalang dan rerumputan tinggi mencuri perhatian dari kejauhan.

Sayangnya, Bang Angga enggan berkeliling. Hanya aku dan Dicky yang akhirnya keluar tenda dan menikmati matahari pagi.

Angin masih saja dengan kencangnya menghantam tubuh, aku cukup jauh berjalan menjauhi tenda. Kamera kunyalakan dan kuabadikan moment selama disana.

Sementara dari kejauhan tenda tampak bergoyang-goyang tak karuan, bang Angga masih didalam tentunya.

Aku mulai khawatir.

Sekira tiga puluh menit berlalu aku dan Dicky akhirnya memutuskan untuk kembali ke menghampiri Bang Angga.

Waktu menunjukkan pukul 08.00 pagi saat itu, meski cuaca cerah angin tak ada bosan-bosannya menganggu kami. Setelah beristirahat dan berbincang, kami memutuskan untuk turun kembali ke basecamp karena khawatir cuaca akan kembali memburuk.

Pelan-pelan kami kemas semua peralatan kami, usai berswafoto disana kami pun beranjak turun.

Beberapa makanan ringan sengaja kami taruh dibagian atas carriel agar dapat dengan mudah diambil saat beristirahat. Ada lapak landai sedikit saja kami kemudian memilih duduk dan menyelonjorkan kaki.

Momen-momen itu kami gunakan untuk saling bercerita, berkeluh kesah, hingga menertawai kebodohan kami sendiri selama ini.

Aku yang sebelumnya sibuk dengan pekerjaanku, Dicky yang sibuk dengan travelnya dan Bang Angga yang sibuk ngojol.

“takut deh ga diizinin naik gunung lagi,” ucapku saat itu.

“terus lo mau ngapain,” kata Dicky

“ya ga tau,” jawabku

“naik gunung ya ga apa-apa, tapi cari moment yang tepat aja.” Sahut Bang Angga.

“kalo gas sama kalian kayaknya bakal susah naik gunung,” keluhku

    Semilir angin terus menggoda kami yang mulai kelaparan di jalur. Tanpa terasa waktu beranjak semakin siang.

“yok gas ke basecamp.” teriak bang Angga dengan semangatnya.

“ayolah,” kataku

Kami kemudian berpacu menuruni jalur.  Hingga akhirnya kami sampai di perkebunan warga. Disana kami bertemu dengan bapak Suripto.

Kebetulan kami hendak menginap semalam lagi di Dieng dan sedang mencari penginapan sebelum aku ke Pekalongan. Bapak menawarkan homestay dirumahnya untuk kami beristirahat dan bersih-bersih. Setelah bertukar nomor telepon kami pun izin melanjutkan perjalanan menuju basecamp.

Ohiya, setelah sampai basecamp, bersih-bersih, mengisi perut dan lapor diri  kami kemudian langsung menuju Candi Arjuna yang berada tak jauh dari basecamp.

Banyak hal menarik yang kami dapat disana,senang hingga perasaan tak karuan. Lanjut dibagian selanjutnya yaaaa :D

Minggu, 05 April 2020

BOSAN DI JAKARTA, SETELAH 2 TAHUN AKHIRNYA BISA NAIK GUNUNG LAGI DAN BEGINI RASANYA




Terminal Mendolo, Wonosobo, Jawa Tengah.

Yuhuuuuuu, akhirnya bisa naik gunung lagi setelah dua tahun menahan diri wkwk 

"sebelumnya minta maaf karena tulisannya baru dipost sekarang ya :("

Jadi guys September 2019 kemarin itu kali pertama aku kembali lagi ke hutan sejak terakhir aku ke Gunung Semeru pada Agustus 2017. udah lama banget dong ya ..

Setelah lulus dari Universitas, sempat mengganggur beberapa bulan kemudian bekerja di pertengahan 2018 setahun sesudahnya aku menyusun rencana perjalanan karena bosan dengan pemandangan gedung-gedung di Jakarta.

Usai berdiskusi cukup panjang, aku dan teman-temanku memutuskan untuk mendaki Gunung Sindoro di Jawa Tengah pada minggu ketiga bulan September.


Diskusi Perjalanan 
Setelah menyelesaikan keperluan kantorku saat itu, aku pun menyiapkan segala keperluan untuk perjalanan kali ini.  Kebetulan aku memang berencana untuk mampir ke tanah kelahiran papa di Pekalongan. Dan saat itu juga bertepatan dengan setahunnya aku pulang kampung saat menjenguk kakek ketika beliau sakit.

Keberangkatan yang direncanakan pada tanggal 19 September 2019 ternyata harus kami tunda karena berbagai hal. Satu orang temanku harus hadir untuk keperluan kerjanya. Disaat yang bersamaan kami baru tahu kabar bahwa Gunung Sindoro terpaksa menutup jalur pendakiannya karena kebakaran hutan yang melandanya saat itu.

Setelah berdiskusi bersama, perjalanan tetap kami lakukan hanya saja dengan tujuan yang berbeda. Wilayah Dieng di Wonosobo Jawa Tengah jadi pilihan yang terelakkan untuk kami saat itu.

Maklum saja, beberapa gunung alternatif ketika itu memang sedang ditutup juga karena kebakaran hutan dan alasan teknis lainnya. Akhirnya kami pun memilih Gunung Prau sebagai penggantinya.
Perjalanan dimulai tanggal 22 September 2019.

aku dan dua temanku sudah sepakat bertemu di Terminal Kampung Rambutan, Jakarta Timur.

Setelah memesan tiket untuk tiga orang  kami pun berangkat sekitar pukul  6 sore.

Perjalanan dari Jakarta ke Wonosobo kami tempuh selama 10 jam, sampai akhirnya kami sampai sekira pukul 04.00 pagi di Terminal Mendolo.

Cuaca dingin menusuk kulit tanpa permisi saat kaki memijakkan kaki pertama kalinya disana. Namun hal pertama yang kami lakukan adalah terus bergerak mencari tempat beristirahat untuk sekedar merebahkan badan atau menselonjorkan kaki karena pegal-pegal efek berjam-jam perjalanan dan duduk didalam bis.

Setelah turun bis, beristirahat dan mengisi perut kami pun melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum bersama pendaki lainnya.
Seluruh carriel diikat diatap kendaraan, ketika matahari sudah mulai meninggi kami pun berangkat menuju basecamp tujuan masing-masing.

Tampak dari dalam kendaraan jalur menuju kawasan Dieng dan sekitarnya menggunakan angkutan umum.


Lebih kurang satu jam perjalanan, jalanpun mulai sering menanjak, menurun dan berkelok-kelok. Suasana pedesaan mulai sangan terasa dan aku seperti kerasan berada disana saat itu.

Sebagian pendaki turun terlebih dahulu menuju basecamp Jalur Patak Banteng, sementara kami masih melanjutkan perjalanan menuju basecamp di Jalur Dieng.

Ya saat itu memang kami ingin mengexplore Gunung Prau melalui jalur tersebut. Melakukan perjalanan dengan lebih santai dan menghindari jalur-jalur ramai. Sehingga kami memilih jalur yang mungkin lebih sedikit pendaki yang melewatinya.

Perlu diketaui juga, Gunung Prau mememiliki banyak jalur yang bisa dijadikan alternatif pendakian diantaranya Tapak Banteng, Dieng Wetan,  Lembu, Dwarawati, Campurejo,  dan Wates.

Pagi di Dieng saat itu begitu dingin dan sejuk namun juga terasa hangat. meski telah mengisi perut di terminal subuh tadi, namun untuk kembali menambah tenaga aku dan kedua temanku akhirnya kembali membeli membeli sarapan.

Aku dan Bang Angga memilih sate ayam yang dijajakan di tepi jalan oleh seorang wanita paruh baya sementara Dicky memilih makan di sebuah rumah makan yang saat itu cukup ramai pembeli.

Selang satu jam setelahnya kami mulai menggendong carriel masing-masing daln mulai berjalan menuju basecamp jalur Dieng. Sekira 15 menit melewati tanjakan dan pemakaman warga kami sampai dan merebahkan badan mengecas handphone dan bersiap diri sejenak.

Di depan Gapura Bascamp Jalur Dieng.


Suasana basecamp saat itu masih sepi, belum ada pendaki lain selain kami disana. Sehubungan dengan semakin diperketatnya peraturan penggunaan plastik di Gunung Prau maka  setiap pendaki harus meminimalisir penggunaannya.

Tak hanya itu, berbagai makanan dan minuman kemasan juga harus dibuka dan dimasukkan dalam satu wadah agar tidak menghasilkan sampah plastik sisa makanan dan minuman yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan.

Mulai dari bungkus mie instan, kopi, botol minuman kemasan hingga tissue basah dilarang dibawa selama pendakian.

Proses pemilahan bungkus- bungkus plastik yang akan diminimalisisr untuk digunakanan selama pendakian.


Untuk mewadahi air yang dibawa, alternatifnya pihak basecamp menyewakan dirigen yang telah disiapkan pengelola. Bahkan puntung rokokpun tak bisa dibuang sembarangan karena saat mereka yang merokok telah selesai dari pendakiannya puntung rokok tersebut harus diperlihatkan kepada petugas sebelum dibuang sebagai bukti bahwa mereka tidak membuangnya dijalur selama pendakian.

Saat semuanya telah selesai dicek petugas, dan segala kebutuhan administrasi pun telah usai kami pun segera memulai pendakian. 
Sekira pukul 09.00 pagi kami berjalan menyusuri perkebunan warga yang membentang di sepanjang kaki Gunung Prau.

Lama tak menggendong carriel untuk pendakian rupanya berpengaruh besar untuk pendakian kali ini.

Rasanya badan lebih cepat lelah, nafas tak beraturan hingga seringkali aku meminta berhenti untuk duduk dan istirahat dijalur.
Perjalanan kami memang sangat santai, tak ada yang kami kejar dan tak ada pula yang mengejar kami. 

Kira- Kira seperti apa ya perjalanan selama pendakian? Berhasilkah kami untuk santuy di Gunung Prau? 

Tunggu di cerita selanjutnya ya ...

  



Senin, 17 Februari 2020

MENGENAL PAKU RANE, LALAPAN DAN OBAT DARI HUTAN





Berkegiatan ke alam bebas tentunya harus memiliki persiapan dan bekal yang cukup agar apa yang diharapkan selama perjalanan dapat terorganisir dengan baik. Entah itu dilakukan oleh seorang seorang pendaki atau masyarakat umum sekalipun. Mulai dari persiapan fisik, peralatan hingga logistik atau makanan.

Karena sejatinya beraktivitas di alam bebas dapat mengurangi stress dan membuat pikiran menjadi lebih fresh. Kegiatan yang bisa dilakukan adalah hiking, mendaki gunung atau hanya sekedar camping.

Saat berkegiatan disana, pastinya kita juga membutuhkan istirahat dan kembali memulihkan tenaga dengan mengisi perut, baik dengan makanan ringan atau makanan berat. 

Namun, banyaknya makanan instan saat ini mudah dijumpai membuat sebagian orang mengesampingkan makanan yang lebih sehat yang sebenarnya juga mudah didapatkan didalam hutan. 
Selain menjadi alternatif makanan tentu apa yang bisa kita dapatkan langsung dari sumbernya bisa mengurangi berat beban tas atau carriel yang dibawa selama perjalanan.

Satu diantara sumber makanan dari hutan yang pernah aku temui adalah jenis paku-pakuan yakni Paku Rane. Tanaman tersebut aku dapatkan saat berkegiatan di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Jawa Barat saat masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas pada 2011 lalu.

Paku Rane merupakan tumbuhan paku yang masuk dalam spesies Selaginella plana. Tumbuhan paku ini termasuk ke dalam varietas yang langka dan termasuk ke dalam golongan Lycopodiinae. Paku Rane akan memantulkan warna kebiruan terutama saat terkena sinar matahari. 

Diketahui Paku Rane dapat dimanfaatkan sebagai tanaman hias. Tak hanya itu saja, tanaman ini juga dikonsumsi untuk lalapan (tunas muda) dan memiliki segudang manfaat diantaranya antioksidan, anti inflamasi, antikarsinogenik, tonik untuk perawatan pasca persalinan, obat darah juga obat ulu hati. 

Aku menemukan Paku Rane saat ditugaskan mencari bahan makanan yang berasal dari sumbernya. Saat mengecek berbagai tumbuhan diantara tanaman liar dan semak-semak disanalah aku menemukan satu diantara jenis paku-pakuan itu. 

Setelah memastikan bahwa Paku Rane bisa dikonsumsi dengan mengoleskan bagian daunya di punggung telapak tangan dan bagian belakang telinga. Karena tidak ada rasa gatal atau perih, aku kemudian mengolahnya menjadi sayuran yang dimasak hanya menggunakan bumbu penyedap alakadarnya.




Bukan hanya aku, dua temanku yang juga tergabung dalam kelompok yang sama juga menikmati sayuran itu dengan lahapnya. Rasanya tak jauh beda dengan tumbuhan hijau atau sayuran pada umumnya meskipun agak sedikit keras pada bagian batangnya. Kami menyantapnya dengan nasi hangat yang sudah ditanak menggunakan nesting yang kami bawa.  

Tak hanya makan dari apa yang tersedia di hutan, aku pun memanfaatkan lumut yang menempel pada batang pohon-pohon pinus untuk mendapatkan sumber air. Lumut yang sudah dikumpulkan pada sebuah kain yang tidak terlalu besar. Setelah dirasa cukup, kain tersebut kami peras agar tanah yang menempel pada lumut dapat tersaring dan tidak ikut terbawa kedalam gelas yang kami gunakan.

Penasaran dengan manfaat Paku Rane lainnya secara detil, saat mengambil air ke area sungai yang tak jauh dari pos jaga taman nasional kami pun menemui petugas dan menanyakan kembali perihal daun yang kami konsumsi.
Petugas pun menjelaskan seperti apa yang sudah aku terangkan diatas. Ia pun menyebutkan bahwa Paku Rane sangat baik untuk mengobati jerawat dan mengobati luka dalam. Ternyata tak hanya paku rane saja, masih banyak tanaman yang bisa dikonsumsi dan memiliki segudang manfaat lainnya yang bisa dijumpai didalam hutan.

Maka dari itu, aku mengaak semua yang membaca ini untuk terus memjaga hutan dengan segala isinya agar tetap terjaga hingga anak dan cucu kita  kelak dapat menikmatinya juga. 

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menjadi satu diantara organisasi publik yang berfokus mengenai lingkungan termasuk hutan. Kamu bisa melihat berbagai kegiatan dan perkembangan walhi pada websitenya (https://walhi.or.id). 
Ayo Jaga Rimba Terakhir Kita!