Minggu, 03 Januari 2021

Dikasih Nginep Gratis, Kita Malah Kabur [Part 3 - Gunung Prau]



Gunung Prau, September 2019. (Dok. Pribadi)


Ini merupakan kali pertama aku ke Dieng. Sebelumnya aku hanya tahu Dieng dengan udaranya yang dingin serta banyak tempat wisata alam yang indah. Selain itu, ya tentunya dengan Gunung Prau yang menjadi primadona disana. 

Seperti sebuah kewajiban, Prau tidak boleh sampai dilewatkan bagi siapa saja yang berada di wilayah Wonosobo, Prau seakan menjadi pengobat rindu bagi dia yang menyukai alam dan pendakian. Dengan ketinggian yang tidak sampai tiga ribu diatas permukaan laut, pendakian Prau terasa sangat santai. Dengan catatan si pendaki sudah benar-benar siap dengan  kelengkapan yang dibawanya.

Karena Gunung Prau tetaplah Gunung dengan  segala misteri yang menyelimutinya. Kadang cuaca bisa saja sangat cerah, namun bisa saja lebih buruk dari apa yang kita bayangkan.

Setahun lalu, aku mendaki Gunung Prau bersama dua temanku. Dua tahun tidak naik gunung membuat kami sangat merinduinya. Sempat memutuskan untuk mendaki ke Gunung Sumbing, namun rencana itu dibatalkan karena tiba-tiba Sumbing ditutup.

Singkat cerita, Gunung Prau menjadi satu tujuan yang terelakkan saat itu karena lokasinya yang masih berada di Jawa Tengah.  Niat untuk menikmati alam Dieng yang elok sirna karena cuaca buruk yang menemani kami selama menginap di Gunung Prau. Alhasil, kami hanya semalam disana. 

"Paling tidak aku sudah berkenalan dengan Gunung Prau, suatu saat aku akan kembali lagi," gumamku

Candi Arjuna. (Dok. Pribadi)


Selepas turun dari pendakian, kami memutuskan untuk berkeliling di sekitaran Gunung Prau. Candi Arjuna menjadi satu destinasi yang kami kunjungi. Dengan berjalan kaki sekira dua puluh menit kami sampai di candi tersebut. 

Momen disana pun tak lupa kami abadikan dalam kamera yang kami bawa.Ya, kamera sat ini adalah barang wajib yang harus selalu dibawa saat traveling. 

Usai berkeliling dan beristirahat kami memutuskan untuk mencari makan  terlebih dahulu sebelum mencari penginapan. 

"kita nanti makan mie ongklok aja ya," kata Dicky 

Tanpa sanggahan aku dan bang Angga pun mengiyakan. Dipertengahan jalan menuju kedai mie ongklok kami bertemu seorang bapak yang menyapa kami sembari mengendarai motornya dengan sangat pelan.

Ia menanyakan hendak kemana kami berjalan. Saat mengetahui kami sedang mencari penginapan ia menawarkan rumahnya untuk kami tinggali selama semalam. 

"dirumah saya aja, FREE!!," kata dia,

Seperti mendapat rejeki yak terduga, kami senang dengan tawaran tersebut dan berjanji datang ke tempat tinggalnya untuk menginap. 

Mie Ongklok.

Usai mencoba mengisi perut, tanpa ragu kami berjalan mengikuti petunjuk si bapak menuju rumahnya yang tak jauh dari kedai tempat kami makan.

Tak lama sampailah kami di sebuah rumah sederhana dengan beberapa pot bunga yang menggantung didepannya.

Beberapa kali kami memanggil, namun si empu rumah tak jua menyauti. Akhirnya kami mencoba mendekat ke pintu.

Ternyata, si Bapak sedang sibuk di dapur yang letaknya disamping pintu. Kami pun dipersilahkan untuk masuk dan beristrahat. Sementara ia masih sibuk dengan kompornya.

Rumahnya terdiri dari beberapa kamar yang saling terhubung satu sama lain. Ya tentunya dengan hal tersebut kami dengan mudah dapat melihat situasi dan kondisi rumah tersebut. 

Tidak ada siapapun, hanya Bapak sendiri. Kami yang penasaran pun menanyakan hal itu kepada si Bapak, 

"Ibu sama anak ga ada pak? tanya kami penasaran,

"Saya sendiri disini." begitu ia menjawab pertanyaan kami dari yang ku ingat.

Seperti ada perasaan yang mengganjal, suasana hati kami saat dirumah itu sangat tidak tenang,gelisah dan merasa takut. Padahal jika difikir kami berada ditengah-tengah pemukiman rumah warga yang mungkin bisa saja jika  terjadi hal buruk dapat berteriak meminta tolong.

Ruang percakapan di telepon pintar kami menjadi tempat diskusi terbaik saat  itu, kami tak ingin apa yang dibicarakan diketahui. 

Karena banyak hal yang janggal, akhirnya kami putuskan untuk pergi dengan alasan harus segera kembali ke Jakarta. 

Drama pun kami mulai, telepon genggam bang Angga berdering. Seolah-olah temannya dari Jakarta yang menelepon. 

"Iya Oke gue balik malem ini," saut bang Angga dengan suara keras  bersandiwara. 

Sekonyong-konyong si Bapak pun penasaran, dan menanyakan apa yang sedang terjadi. 

"ada apa itu." tanyanya

"iya pak, jadi si Abang katanya harus balik malam ini untuk kerja besok, jadi sepertinya kita harus langsung kembali ke Jakarta pak. terimakasih ya pak sudah diizinkan menginap malam ini, maaf kami merepotkan sebelumnya," kata Dicky mencoba menjelaskan.

Raut wajahnya pun langsung berubah, Seolah diputus harapan dan menjadi sedikit panik. Ia berusaha menahan aku dan Dicky agar tak ikut serta. Namun, kami menjaleaskan, jika pergi bertiga maka kami harus pulang bertiga. Ia pun menggangguk.

Saat kami tengah sibuk mengeluarkan barang-barang kami, ia pun sibuk dengan telepon genggamnya seperti memberi kabar kondisinya saat ini, 

Orang yang sebelumnya sangat ramah tiba-tiba berubah menjadi tidak peduli dalam sekejap. Sampai aku menanyakan nama pun tak disebutkannya sama sekali. 

Selepas maghrib kami pamit dari rumah itu dan bergegas berjalan keluar, menjauh dan semakin menjauh. 

Ada rasa lega yang aku rasakan bersama tiga temanku saat itu. Kami seperti baru keluar dari kandang singa yang kelaparan. Jantung sempat berdegup kencang dan keringat pun mengucur deras padahal cuaca malam di Dieng cukup dingin.

Usai mampir di supermarket untuk membeli minuman, kami putuskan untuk benar-benar mencari penginapan. Beberapa tempat sudah kami tanyai, Namun, banyak yang tidak cocok dengan kantong kami. 

Saat berjalan cukup jauh, terlihat dari kejauhan penginapan dengan plang namanya yang cukup besar beserta lampunya yang menyala terang. "Erlangga" itu namanya.

Kami pun teringat dengan Pak Suripto yang kami temui saat turun menuju basecamp siang tadi. Tanpa basa basi dan menunggu aba-aba kami berjalan dengan cepat menuju penginapan itu. 

Sesampainya di depan penginapan, Dicky langsung mengetuk pintu dan disambut langsung oleh pak Suripto. Tanpa perlu menunggu lama, kami dipersilahkan masuk dan memilih kamar. 

Perasaan tenang dan merasa aman saat itu meyakinkan aku bahwa pergi dari rumah si Bapak misterius sebelumnya adalah pilihan yang tepat. 

Sebelum akhirnya merebahkan badan, Dicky dan bang Angga mengolah bahan makanan yang masih tersisa. Kejadian hari ini cukup meresahkan kami hingga kami merasa pendakian ke Prau tidak menjadi sebuah kesalahan dan pelarian karena banyak moment tercipta tanpa sengaja. 

Kira-kira pendakian selanjutnya kemana dan akan seperti apa ya? tunggu ceritanya ya :)